28 Agustus 1988 terlahir dengan nama Agustina Indah Purnama, dengan ayah asli Solo bernama Fransiscus Xaverius Soepandi dan ibu asli Wates bernama Bernadetha Murniati.
Fufu, sebuah nama panggilan darimana, tetapi nama itulah yang banyak dikenal. Yah… itu namaku. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara dan aku bukanlah anak manja seperti yang mereka kata. Sejak masih orok, aku sudah direncanakan oleh orangtuaku menjadi anak yang kuat. Dan setelah beberapa tahun menghembuskan nafas di dunia, ibu sudah mendidikku menjadi anak yang efektif dan efisien dalam menggunakan uang dan waktu. Ibuku adalah ibu rumah tangga yang selalu bersamaku menantikan senja. Dan ayahku sudah purna tugas sebagai pegawai BRI tahun1999.
Biarkan kuceritakan bahwa masa kecilku adalah masa yang minim bermain. Ibu selalu membebaskanku untuk bermain, tetapi diwaktu- waktu yang tidak kusuka untuk bermain. Aku, Fufu, yang sudah akrab dengan perasaan kesepian ketika siang hari dan itu sudah kurasakan sejak umur 5th (seingatku).
“Siang hari adalah waktu istirahat,nak”; begitu kata ibuku jika aku sudah merengek untuk dibukakan pintu dan sekedar menyapa jejalan yang lengang. Saat seperti itulah aku sudah menjadi pantomer profesional, setidaknya sambil menantikan senja yang orange. Terlanjur, aku terlanjur menjadi penikmat pujian. Aku cinta pujian karena hal itulah yang aku miliki. Dan aku mempunyai banyak teman yang menyenangkan. Aku diterima sebagai seorang aku yang sebenarnya dan tak perlu aku menjadi orang lain.
Suatu kali ibu pernah memarahiku habis- habisan karena saat itu ibu tidak menemukanku di sekolah padahal ibu baru terlambat 5menit dari waktu pulang sekolah dan itu sering terjadi. Ibu lalu menutup pintu dan membiarkan aku di teras rumah. Tiba- tiba ibu melemparkan karung goni di depanku, meyuruhku jadi pemulung saja. Dan tentunya ibu tak sungguh-sungguh mengatakannya, namun karena saat itu aku juga penuh dengan emosi maka aku pun berlari keluar rumah dan segera mencari kaleng- kaleng bekas seperti pemulung yang sering kulihat disekitar rumah. Namun karena aku memang selalu ingin dipuji maka aku berusaha mencari kaleng sebanyak- banyaknya. Aku pun langsung teringat TPA (tempat pembuangan akhir) yang berada tidak jauh dari perumuhan tempat kami tinggal. 15 menit kemudian dengan bangganya aku mengetuk pintu dan memamerkan “hasil kerja kerasku”.
Masih banyak kekonyolan yang kulakukan dari menunggui anjing kawin di samping rumah hingga berdiri di bawah tiang listrik sebagai hukuman di sekolah karena tidak mengerjakan PR. Hal yang paling tak pernah kumengerti hingga sekarang adalah kenapa sejak TK aku selalu tidak pernah akur dengan wali kelas?. Ibuku pun harus mengerutkan dahi seakan- akan berpikir keras jika aku mulai melontarkan pertanyaan tersebut.
Ketika pertengahan kelas 6 SD, keluargaku mengalami ujian hidup yang cukup berat bagi kami saat itu. Aku dan kedua kakakku sejak itu mulai apathis dengan segala konflik yang terjadi dalam diri kami. Kami adalah satu kasatuan luka yang sulit untuk dipisahkan. Kami belajar dari ibu yang tegar yang menghadapi masalah dengan sangat kuat dan tetap menjaganya sebagai rahasia keluarga kecil kami. Luka itu akan selalu ada, namun kenapa kita harus menutup- nutupi kebahagiaan kita saat kita tertawa. Biarlah tawa itu murni ada. Sekarang kami tidak pernah menganggap bahwa masalah harus dipandang sebagai masalah. Dan aku pun tidak pernah terbebani dengan sesuatu hal yang memalukan atau apa karena semua itu akan berakhir cepat atau lambat. Aku bahagia karena aku berbahaya karena bahagia J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar