Senin, 24 September 2012

Paradokma



“Apa sih yang dicari manusia dalam proses hidup ini?”
                Begitu pertanyaan ibu setiap kali kami bercengkrama di ruang tamu ketika sinar matahari yang perlahan surut, menampakkan kegenitan orange yang menyala terang, masuk melalui celah jendela dan pintu yang terbuka. Aku terdiam. Diam tak berpikir. Menandakan bahwa aku tak pernah memikirkannya, memikirkan apa yang kucari dalam hidup. Pertanyaan berbeda pernah terlontar dari seorang dosen dan aku selalu menjawab tanpa berpikir, jawabanku hanyalah UANG. Sekilas mendengar jawaban seperti itu tentunya setiap orang akan memberi penilaian seberapa materialistis seorang aku hingga setiap hal diorientasikan dengan uang. Aku berpikir bahwa hidup itu untuk mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan, untuk menghidupi proses hidup yang berjalan entah sampai kapan. Namun pertanyaan sore itu kembali kuresapkan, apa sih yang aku cari?
Kenyamanan.
Ya, selama ini aku lari entah kemana hanya untuk mencari kenyamanan, memeluk, mencium, hanya berharap mendapatkan kehangatan yang kucari dalam setiap sentuhan. Aku butuh penerimaan, tentunya bukan hanya aku, tetapi setiap orang butuh diterima sebagaimana dirinya. Apapun jabatan, kasta, pekerjaan, dan masa lalu yang melekat pada dirinya. Setiap orang berharga dihadapan Allah, bukan karena religious, hanya mengombinasikan spiritualitas dengan realitas yang ada. Dalam proses kehidupan beberapa bulan ini, sempat membuat aku tertegun. Ternyata tidak semua orang yang belajar tentang kejiwaanpun mampu menjiwai setiap jengkal perasaan orang lain. Kasta ada, begitu pula rupa. 
“Saya memakai seragam yang lebih terhormat dari kamu, maka kamu harus nurut sama saya.”
Oalah…. Tak sempat aku memikirkan seberapa tinggi kastaku, ataukah aku hanya seorang paria yang sebenarnya sedang bersembunyi dalam topeng Drupadi? Seorang ibu yang biasa membersihkan ruang kerjaku selalu memberi senyum terlebarnya untukku… (semoga aku ga keGRan.. hehehe…). Tapi aku selalu memergoki si ibu mengelap meja sambil memerhatikan setiap gerakanku, lalu tersenyum. Aku senang melihatnya, karena setiap gurat yang terlukis diwajahnya, menandakan suatu keikhlasan dan kerinduan akan suatu keakraban yang belum pernah didapatnya. Bukan berarti aku menyatakan bahwa baru aku yang berhasil membuatnya merasa akrab, hanya kebetulan aku salah satu yang menjadi saksi senyum yang terukir tersebut. Setiap sentuhannya pada furnish adalah kasih, si ibu mendapatkan uang untuk melakukan itu tiap hari. Namun uang yang tak seberapa tersebut tak juga dapat dibandingkan dengan perjuangannya sebagai pekerja. Aku merasa tidak enak ketika aku merasa menjadi anak muda dungu yang memeroleh posisi di atasnya dan betapa si ibu sangat menghargai saya karena saya dianggap memiliki posisi lebih tinggi di atasnya. Ya… memang begitu adanya. Tapi bukan berarti orangpun bisa mengkastakan sesama manusia berdasarkan pekerjaan,kan? Seorang pelacur pun punya sebuah tujuan untuk melakukan pekerjaannya, bukan semata- mata menggoda kekasih orang. Jika toh si lelaki tidak mau, pastilah si pelacur akan membiarkannya pergi. Yang pasti, yang dicari orang di dunia ini untuk menghadapi proses adalah uang. Uang yang akhirnya mengkastakan seseorang dan memojokkan seseorang tanpa perlawanan. Tapi bukan itu tujuanku mendapatkan banyak uang, semakin aku memiliki banyak uang, semakin aku ingin banyak memberi. …
Kawan, sudah beberapa lama aku bergumul dalam pengkastaan yang menjadikanku sebagai objek penderita. Tapi bukan berarti tulisan ini merupakan mekanisme pertahanan diriku. Aku hanya merasa pengkastaan yang terjadi padaku merupakan hal yang mustahil dan tak pernah kupikirkan bahwa aku akan dikastakan dalam titik terendah dalam hidupku. Martabat. Okei! Aku akan menggunakan kata martabat untuk hal ini, harga diri ( entahlah, apakah martabat merupakan sinonim dari harga diri? Bukalah sendiri kamusmu, kawan, karena kantongku pun tak cukup untuk membeli kamus setebal duit para dewan di atas sana). Aku terdiam, terdiam dalam tiga bulan ini. Selera humor tak berkembang, menyusut dan semakin  kisut. Tarikan napas panjang selalu kulakukan setiap melakukan sutu pekerjaan, serendah inikah harga diri untuk selalu mengalah? Mengalah untuk merebut hati petinggi? Menjilat? Tidak. Aku bukanlah penjilat yang baik, amatir tepatnya, dan itu bukanlah prioritas dalam hidupku untuk mendapatkan nama baik. Aku hanya tidak mau harga diri yang kupunya, dan kupertahankan sejak lahir sebagai makhluk yang menyenangkan menjadi terkubur dan tak pernah terkenang bahkan oleh diriku sendiri.  Sebisa mungkin tidak mengkastakan orang dan membuat orang lain bukanlah junior yang harus ditindas, berharap aku diperlakukan sama tanpa embel- embel apapun. Setiap orang butuh kepercayaan, bukan dipandang rendah sebagai yang terendah. Muak rasanya diri sendiri jadi penderita. Sial! Ingin rasanya kubawa celurit kemanapun aku pergi, dan kupenggal setiap leher yang berucap kusta kasta yang menjijikan. Subhanaallah….. ampunilah aku orang berdosa…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar