“Apa sih yang
dicari manusia dalam proses hidup ini?”
Begitu
pertanyaan ibu setiap kali kami bercengkrama di ruang tamu ketika sinar
matahari yang perlahan surut, menampakkan kegenitan orange yang menyala terang,
masuk melalui celah jendela dan pintu yang terbuka. Aku terdiam. Diam tak
berpikir. Menandakan bahwa aku tak pernah memikirkannya, memikirkan apa yang
kucari dalam hidup. Pertanyaan berbeda pernah terlontar dari seorang dosen dan
aku selalu menjawab tanpa berpikir, jawabanku hanyalah UANG. Sekilas mendengar
jawaban seperti itu tentunya setiap orang akan memberi penilaian seberapa
materialistis seorang aku hingga setiap hal diorientasikan dengan uang. Aku
berpikir bahwa hidup itu untuk mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan, untuk
menghidupi proses hidup yang berjalan entah sampai kapan. Namun pertanyaan sore
itu kembali kuresapkan, apa sih yang aku cari?
Kenyamanan.
Ya, selama ini
aku lari entah kemana hanya untuk mencari kenyamanan, memeluk, mencium, hanya
berharap mendapatkan kehangatan yang kucari dalam setiap sentuhan. Aku butuh
penerimaan, tentunya bukan hanya aku, tetapi setiap orang butuh diterima
sebagaimana dirinya. Apapun jabatan, kasta, pekerjaan, dan masa lalu yang
melekat pada dirinya. Setiap orang berharga dihadapan Allah, bukan karena
religious, hanya mengombinasikan spiritualitas dengan realitas yang ada. Dalam
proses kehidupan beberapa bulan ini, sempat membuat aku tertegun. Ternyata
tidak semua orang yang belajar tentang kejiwaanpun mampu menjiwai setiap
jengkal perasaan orang lain. Kasta ada, begitu pula rupa.
“Saya memakai
seragam yang lebih terhormat dari kamu, maka kamu harus nurut sama saya.”
Oalah…. Tak sempat
aku memikirkan seberapa tinggi kastaku, ataukah aku hanya seorang paria yang
sebenarnya sedang bersembunyi dalam topeng Drupadi? Seorang ibu yang biasa
membersihkan ruang kerjaku selalu memberi senyum terlebarnya untukku… (semoga
aku ga keGRan.. hehehe…). Tapi aku selalu memergoki si ibu mengelap meja sambil
memerhatikan setiap gerakanku, lalu tersenyum. Aku senang melihatnya, karena
setiap gurat yang terlukis diwajahnya, menandakan suatu keikhlasan dan
kerinduan akan suatu keakraban yang belum pernah didapatnya. Bukan berarti aku
menyatakan bahwa baru aku yang berhasil membuatnya merasa akrab, hanya
kebetulan aku salah satu yang menjadi saksi senyum yang terukir tersebut.
Setiap sentuhannya pada furnish adalah kasih, si ibu mendapatkan uang untuk
melakukan itu tiap hari. Namun uang yang tak seberapa tersebut tak juga dapat
dibandingkan dengan perjuangannya sebagai pekerja. Aku merasa tidak enak ketika
aku merasa menjadi anak muda dungu yang memeroleh posisi di atasnya dan betapa
si ibu sangat menghargai saya karena saya dianggap memiliki posisi lebih tinggi
di atasnya. Ya… memang begitu adanya. Tapi bukan berarti orangpun bisa
mengkastakan sesama manusia berdasarkan pekerjaan,kan? Seorang pelacur pun
punya sebuah tujuan untuk melakukan pekerjaannya, bukan semata- mata menggoda
kekasih orang. Jika toh si lelaki tidak mau, pastilah si pelacur akan
membiarkannya pergi. Yang pasti, yang dicari orang di dunia ini untuk
menghadapi proses adalah uang. Uang yang akhirnya mengkastakan seseorang dan
memojokkan seseorang tanpa perlawanan. Tapi bukan itu tujuanku mendapatkan
banyak uang, semakin aku memiliki banyak uang, semakin aku ingin banyak
memberi. …
Kawan, sudah
beberapa lama aku bergumul dalam pengkastaan yang menjadikanku sebagai objek
penderita. Tapi bukan berarti tulisan ini merupakan mekanisme pertahanan
diriku. Aku hanya merasa pengkastaan yang terjadi padaku merupakan hal yang
mustahil dan tak pernah kupikirkan bahwa aku akan dikastakan dalam titik
terendah dalam hidupku. Martabat. Okei! Aku akan menggunakan kata martabat
untuk hal ini, harga diri ( entahlah, apakah martabat merupakan sinonim dari
harga diri? Bukalah sendiri kamusmu, kawan, karena kantongku pun tak cukup
untuk membeli kamus setebal duit para dewan di atas sana). Aku terdiam, terdiam
dalam tiga bulan ini. Selera humor tak berkembang, menyusut dan semakin kisut.
Tarikan napas panjang selalu kulakukan setiap melakukan sutu pekerjaan, serendah
inikah harga diri untuk selalu mengalah? Mengalah untuk merebut hati petinggi?
Menjilat? Tidak. Aku bukanlah penjilat yang baik, amatir tepatnya, dan itu bukanlah
prioritas dalam hidupku untuk mendapatkan nama baik. Aku hanya tidak mau harga
diri yang kupunya, dan kupertahankan sejak lahir sebagai makhluk yang
menyenangkan menjadi terkubur dan tak pernah terkenang bahkan oleh diriku
sendiri. Sebisa mungkin tidak
mengkastakan orang dan membuat orang lain bukanlah junior yang harus ditindas,
berharap aku diperlakukan sama tanpa embel-
embel apapun. Setiap orang butuh kepercayaan, bukan dipandang rendah
sebagai yang terendah. Muak rasanya diri sendiri jadi penderita. Sial! Ingin
rasanya kubawa celurit kemanapun aku pergi, dan kupenggal setiap leher yang
berucap kusta kasta yang menjijikan. Subhanaallah….. ampunilah aku orang
berdosa…..